Ilustrasi: Anak mencuri Uang Dalam Tas Ibunya |
Anak-anak yang suka mencuri umumnya sejak kecil kurang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Anak-anak yang mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya memiliki ketangguhan mental yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang tidak memperoleh perhatian.
Ungkapan kasih sayang dan perhatian tidak bisa diberikan dalam waktu yang terbatas dan tergesa-gesa. Ungkapan tersebut tidak akan optimal saat jiwa dan pikiran terasa padat dan sibuk oleh hal lain, serta skala proritas tentang pentingnya pengasuhan anak yang berada pada urutan terendah.
Memberikan perhatian dan kasih sayang yang optimal kepada anak-anak, memang bukan hal mudah. Membutuhkan waktu, kesungguhan, kesabaran dan ketangguhan untuk memenuhi gizi yang dibutuhkan anak, bukan hanya sekedar gizi fisik tetapi juga gizi jiwa dan gizi spiritual. Selama ini sebagian besar orang tua cenderung hanya memenuhi gizi fisik saja dan menekankan semata pada keberhasilan otak dan akademis.
Karena anak didera tuntutan agar berhasil dalam persaingan akademis, hal-hal yang menyangkut keimanan, tata cara pergaulan, etika, batasan yang benar dan salah, baik dan buruk tidak sempat tersosialisasi dengan baik.Yang paling parah mayoritas anak-anak tak terpenuhi haknya untuk didengarkan perasaannya. Meskipun demikian ketika seorang anak ketahuan mencuri, hal tersebut harus dilihat kasus per kasus, karena sifatnya sangat individual. Apakah sekedar meniru atau memiliki motif tersendiri.
Secara psikologis ada beberapa hal yang mendorong seorang anak mencuri. Anak-anak yang tergolong implusive (secara spontan bertindak sesuai dengan dorongan yang dirasakan tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu akibat dari tindakan tersebut) akan lebih mudah untuk mencuri. Anak-anak yang kurang percaya diri juga lebih mudah terdorong untuk mencuri,karena ia ingin terlihat sama dengan peer group-nya, sehingga dia akan mencuri benda-benda yang sedang in dilingkungan teman-temannya.
penyebab lain adalah karena anak tergiur dengan iklan-iklan yang dilihatnya sehari-hari, dan ia sangat ingin mencobanya. Anak-anak usia sekolah memiliki kemungkinan untuk mencuri yang lebih besar dibandingkan anak-anak yang lebih muda. Ada kaitan yang cukup erat antara kondisi lingkungan pergaulan si anak, baik dilingkungan sekolah, lingkungan tempat tinggal maupun di dalam lingkungan keluarga, yang membuat seorang anak mencuri.
Faktor lingkungan mempunyai kontribusi dalam terbentuknya tingkah laku mencuri tersebut. Misalnya, bila kebetulan anak bergaul dengan teman-teman yang suka mencuri, lama kelamaan ia juga ingin mencoba melakukannya atau dia tidak mau dianggap berbeda dari teman-temannya.
Pengaruh teman sangat besar bagi anak, karena teman merupakan orang terdekat dengan siapa anak "fell belong". Ditolak oleh teman-teman terasa lebih menyakitkan dari pada ditolak oleh orang tua. Sebagian anak-anak tak perlu merasa khawatir ditolak orang tua, karena mereka yakin orang tua pasti akan memaafkan dan menerima lagi. Tetapi bila ditolak teman bisa berakibat ditinggalkan oleh teman yang lain. Hal ini sering tidak tertahankan oleh anak, sehingga dia berusaha memenangkan pergaulan atau temannya.
Norma kelompok akan besar pengaruhnya, sehingga anak yang sebelumnya tak mencuri, berani mencuri. Dengan alasan demi pertemanan, anak yang semula tergolong baik pun pada akhirnya bisa melakukannya. Apalagi bila kurang memperoleh perhatian, kasih sayang, serta bimbingan dari orang tua. pengaruh lain yang tak kalah besarnya terhadap kepribadian dan kebiasaan anak adalah peran media khususnya televisi. Penjualan produk dengan cara super modern, menggunakan marketing research dan program marketing terpadu termasuk promosi yang canggih bisa sangat mempengaruhi jiwa anak.
Banyak perusahaan marketing research yang melihat anak sebagai pangsa pasar yang sangat empuk. Anak bukan saja faktor pendorong pembelian untuk dirinya tetapi juga untuk keluarga. Anak dan remaja kerap pula dilihat sebagai pangsa pasar masa depan atau apa yang mereka sebut The Future Market.
Atas dasar itulah kebiasaan dan harapan anak dipelajari sedemikian rupa, sehingga produk yang akan dijual dibuat pada akhirnya menjadi sangat dekat dengan mereka. Anak dan remaja akan merasa produk itu "Gue Banget gitu Loh". Proses pemasaran suatu produk yang sangat njelimet ini sering dipahami oleh orang tua.
Akibat mereka tak mampu membekali anak mereka dengan kemampuan berpikir kritis untuk memilih dan mengambil keputusan mengapa harus membeli atau memiliki suatu produk atau mengikuti gaya hidup tertentu. Dan ketika anak mempunyai keinginan menggebu yang tak terpenuhi, mereka pun mengupayakan berbagai kemungkinan untuk mendapatkannya, termasuk dengan mencuri.
Apabila orangtua mengetahui sang anak mencuri, tak perlu senewen. Tidak bisa diatasi dengan marah, karena apapun kelakuan anak, negatif maupun positif, orang tua pasti memiliki peran. Jadi lebih baik cari tahu dengan pelan dan seksama apa penyebabnya. Kemudian berusaha memperbaiki kelakuan sang anak. Hal ini membutuhkan kesabaran dan ketelatenan karena biasanya tidak bisa diatasi dalam waktu singkat. Yang terpenting adalah mencari jalan keluar bersama, sepakati dengan pasangan, mencoba menerapkannya, serta memantau sang anak.
Terapai yang harus dilakukan oleh orang tua saat anak ketahuan mencuri, sangat tergantung pada kedalaman permasalahan serta sudah berapa lama hal itu berlangsung. orangtua sangat perlu mengecek dan mengetahui dengan siapa saja si anak bermain.
Apabila orangtua mendapati anaknya mencuri, tetapkanlah bersikap tenang. Terlebih dahulu tanyakan kepada si anak, mengapa dia mencuri. Jangan langsung memarahi, tetapi galilah informasi, dengarkan dan lihatlah terlebih dahulu dari sisi pandang anak. Baru kemudian kita mengatakan bahwa dia tidak perlu mencuri.
Orangtua perlu mendorong anak agar mencoba meminta kepada orangtua. Katakan, bahwa anak tak perlu takut meminta. bila barang tersebut memang memiliki manfaat maka orangtua akan membantu mewujudkan keinginan tersebut. Namun, apabila anak kedapatan kembali mencuri, maka orangtua perlu introfiksi. Mungkin saja tindakan mencuri itu bukan karena ia menginginkan benda yang dicurinya, tetapi sebagai bentuk mencari perhatian dari orangtua yang sangat sibuk.
Biasanya, orangtua yang sibuk tidak pernah memperhatikan bila anak melakukan hal positif sebaliknya, mereka secara spontan bereaksi ketika sang anak berbuat negatif. Hal ini yang juga perlu diperhatikan adalah adanya kemungkinan orangtua menerapkan pola asuh otoriter sehingga anak selalu merasa takut untuk mengemukakan keinginannya. Akibatnya ia terdorong untuk mencuri bila ia benar-benar menginginkan sesuatu. Apa lagi jika si anak tidak pernah memperoleh pendidikan mengenai nilai-nilai atau norma sosial dari orangtua.
Tetapi , bila hal-hal diatas bukan merupakan penyebabnya, maka orangtua harus konsisten mengajari anak bahwa mencuri adalah tindakan tidak terpuji. Anak bisa diberi hukuman, misalnya tidak boleh bermain dengan mainan kesayangannya, atau tidak boleh bermain dalam waktu tertentu.
Yang sering dilupakan orangtua adalah ketika anak tidak melakukan hal yang negatif maka dia perlu juga diberikan reward. Ketika orangtua merasa kewalahan dalam menghadapi tingkah anak, maka dapat juga meminta bantuan dari guru di sekolah agar si anak tidak mengulangi tindakan negatifnya tersebut. Di usia sekolah biasanya anak patuh pada gurunya.
Upaya yang harus dilakukan oleh orangtua untuk mencegah anak agar tidak mencuri sangat terkait dengan pendidikan dan pengawasan yang diterapkan. Orangtua harus mengajarkan nilai-nilai moral terhadap anak-anak sedini mungkin. Anak-anak akan belajar mengenai nilai-nilai sosial dari lingkungannya. Sedangkan lingkungan terdekat dengan masa kanak-kanak adalah orangtua. Ketika orangtua mampu menanamkan nilai-nilai yang berkaitan dengan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menanamkan nilai-nilai tentang tindakan yang diterima oleh lingkungan sekitarnya, maka anak tidak mudah terdorong atau terpengaruh untuk mencuri.
No comments:
Post a Comment