Rasa sayang kepada anak, memang kerap melatarbelakangi orangtua untuk memberi anak materi dan fasilitas secara berlebihan, atas nama cinta, terkadang orangtua dengan mudahnya meluluskan berbagai permintaan anaknya. Mengasihi itu tidak cukup dengan cinta, tetapi harus dengan logika karena kalau tidak pakai logika, capek benar orangtua itu. Jungkir balik dia bekerja, memenuhi semua keinginan anak.
Selain cinta, rasa bersalah orangtua terhadap anak juga kerap mendasari sikap orangtua yang gemar membanjiri materi dan fasilitas kepada anaknya. Karena sekarang banyak orangtua bekerja, waktu yang hanya sedikit untuk anak-anak, seringkali ditebus dengan memberi materi secara berlebihan pada anak. Seolah-olah materi-materi tersebut bisa menutupi rasa bersalahnya.
Faktor lain bisa disebabkan oleh latar belakang orangtua yang masa kecilnya, jarang atau tidak pernah dipenuhi keinginan-keinginannya. Bisa karena keadaan yang tidak memungkinkan atau pola pengasuhan yang keras. Karena itu, ketika orangtua ini mempunyai anak, mereka ingin memperlakukan anak mereka dengan cara berbeda.
Tetapi bisa juga, perilaku orangtua dalam memberi materi dan fasilitas kepada anak dilandasi oleh rasa persaingan . Orangtua melihat, anak orang lain dibelikan, berarti anak saya juga harus dibelikan. Orangtua ini, tidak mau kalah dengan orangtua lain.
Tugas utama orangtua adalah mengasuh anak. Dalam proses pengasuhan itu ada banyak faktor yang harus dipenuhi. Mulai dari pemberian materi, kasih sayang, perhatian, waktu dan sebagainya. Itu harus dikasih semua tidak boleh hanya satu hal, pasti akan ada yang timpang. Misalnya, kalau cuma dikasih baju aja, tentu anak akan kurus kering karena tidak diberi makan. Jadi, pengasuhan harus seimbang pemberiannya.
Pemberian materi bagi anak itu harus sebatas yang dibutuhkan anak. Kalau memang kebutuhan dasarnya sudah terpenuhi, baru kemudian menambahkan sedikit kebutuhan diluar itu, misalnya permainan, dan kebutuhan untuk mengembangkan diri seperti sekolah.
Orangtua bisa tahu bahwa apa yang dilakukan berlebihan, ketika materi yang diberikan, sudah bukan lagi kebutuhan anak, tetapi malah mengarah menjadi hal yang negatif. Misalnya, materi yang diberikan orangtua, menjadi senjata untuk menyogok anak atau materi yang diberikan itu, membuat anak "mengerjai" orangtua.
Apa yang too much adalah jika anak menginginkan sesuatu yang tidak ada dasarnya, dan diberikan. Misalnya, anak bisa mengendarai motor-motoran yang di charge, karena orangtuanya mampu, anak dibelikan saja. Meskipun, motor-motoran itu tidak dipakai dan anak belum bisa me-maintain mainan itu, bahkan memahami mainan itu.
Selain itu, sesuatu dapat dikatakan berlebihan atau tidak bisa dengan melihat dari sisi orangtua. Kalau orangtua sedang kelebihan rejeki atau harta, boleh-boleh saja memberikan pada anak. Tetapi jangan biarkan anak, kapan pun dia ingin, dimana pun dia minta, harus dikabulkan permintaanya.
Ada dua hal penting yang perlu dipahami dalam memberi pada anak, yaitu: need and wants. Need harus dipenuhi, tidak bisa ditawar-tawar. Sementara wants, harus dilihat situasinya.
Wants berubah terus, karena agen periklanan terus berusaha untuk mempengaruhi buying motive, dikepala dan di bawah kesadaran konsumen. Mereka mempelajari anak-anak, apa yang diinginkan, apa kebiasaan-kebiasaan, dan sikapnya seperti apa. Mereka meneliti untuk kemudian merumuskannya bagaimana menarget anak-anak. Jadi anak-anak akan berusaha membeli untuk dirinya, dan mendorong keluarga untuk membeli. Ini yang tidak diketahui oleh orangtua.
Jika orangtua begitu saja memenuhi permintaan anak, satu hal yang hilang, perspektif logika, kemampuan untuk berpikir, kemampuan memilih dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Padahal untuk memutuskan apakah perlu membeli atau tidak. anak harus dibekali pengetahuan dan logika yang memadai. Apakah saya memang membutuhkan barang itu? apakah saya harus membelinya? dan, berapa uang yang harus saya keluarkan untuk membeli barang ini? Dan sebagainya. Proses tidak sederhana, untuk membeli atau tidak membeli suatu barang. Berpikir, memilih, dan memutuskan harus dilakukan oleh anak dan atas nama dirinya.
Dengan membiasakan anak seperti itu, anak memiliki kemampuan untuk mengontrol uang yang dimilikinya. Jadi, walaupun dia punya uang, dia tidak akan beli jika tidak memerlukan. Dia akan berpikir ah lain kali saja. kemampuan itulah yang diperlukan. kalau tidak begitu, dia akan korupsi karena dia tidak bisa mengendalikan uang, dan tidak bisa mengendalikan hasratnya untuk memiliki sesuatu.
Hal lain yang juga penting dalam memenuhi keinginan anak adalah, penekanan bahwa sesuatu dapat diberikan asalkan anak mau berusaha. apa yang diinginkan, they have to earn, mereka harus usaha. Misalnya, untuk membeli mainan yang mahal anak diajarkan untuk mengumpulkan uang, dari uang sakunya, dari tabungannya, dan lain sebagainya
selain dari anak, pada kenyataannya, keinginan dan kebutuhan untuk melimpahi anak secara materi kadang-kadang justru datang dari orangtuanya. Misalnya , karena ingin terlihat cantik dimatanya, tak jarang orangtua membelikan anak banyak sekali pakaian dan asesories yang berlebihan. Sudah punya 4 sepatu warna putih, hitam, pink, dan coklat, masih saja dia membelikan sepatu-sepatu lain berwarna kuning, merah, hijau, biru, dan entah warna apa lagi. Alasannya biar serasi dengan baju-bajunya.
Banyak orangtua yang bangga justru kalau anaknya punya barang-barang bermerk, jadi kelihatan kalau orangtuanya makmur. Oleh karena itu, tak hanya anak yang seharusnya dituntut untuk berpikir dan menimbang-nimbang dalam urusan beli-membeli sesuatu. Meskipun pembelian itu untuk anaknya. orangtua juga perlu menimbang-nimbang. Kembalikan dulu ke diri sendiri, sebenarnya ini buat anak, atau buat dia? jika untuk anak, kembalikan lagi, anak butuh atau tidak?
Orangtua yang membeli tanpa peduli kebutuhan anak, berarti tidak mengajarkan kepada anaknya mengenai kebutuhan-kebutuhannya, dan bagaimana memenuhinya. Salah-salah, tak hanya sekolah dan kursusnya saja yang ditentukan orangtua, juga jodoh dan profesinya. Jadi, kapan anak memiliki dirinya dan menyatakan seleranya.
Sejauh tujuannya jelas dan orangtuanya mampu, sekali-kali boleh juga memenuhi keinginan anaknya, Uang jajan anak misalnya. Kalau orangtua punya uang lebih, boleh ditambahi. Jangan lupa katakan, tetapi hari ini saja ya..
Anak yang terbiasa dipenuhi kebutuhannya secara berlebihan, akan memiliki konsep diri yang negatif, bahkan hancur ketika kemampuan orangtuanya secara materi menurun. "patokannya materi. Kalau dia tidak ada materi, dia merasa bukan apa-apa. Untuk Menghindari hal-hal tersebut, agar setiap kali orangtua ingin memberikan sesuatu pada anak, sebaiknya menanyakan pada dirinya sendiri. "Apa arti pemberian ini untuk anakku"
"Saya bisa bungkus engkau, Nak, dengan emas dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu aku tabur-taburkan permata. Tetapi kamu jadi rusak, tak punya masa depan. Karena emas dan permata ini milikku, milik engkau ada dalam dirimu,Nak. Kemampuan berpikir,kemampuan memiliki, kemampuan mengambil keputusan. Karena aku tidak selamanya bersama engkau." (Muhammad Din Ilyas kepada putrinya Elly Risman Musa)
No comments:
Post a Comment